Ba’da Maghrib, sudah 3 hari ini kebiasaan baru saya adalah menyicil bacaan pada buku-buku yang suami saya berikan saat seserahan kemarin. Buku yang saya minta sebenernya. Buku-buku Islam yang sudah lama ingin saya beli tapi belum ada kesempatan dan uang yang cukup untuk membelinya. Alhamdullillah suami diberikan rizki oleh Allah untuk mewujudkan keinginan saya terhadap buku-buku itu. Buku-bukunya kereeennn.. Bukunya bantu saya untuk terus merenungi hidup dan menelaah keseharian saya yang, waw, masih jauh dari syariah (bankk kali ah syariah ;p)
Untuk kali ini, ada kutipan dari salah satu buku yang saya baca dan ingin saya sharing sama teman-teman, tentang pernikahan. Apa lagi nih? Tulisan saya akhir-akhir ini tentang nikah mulu ya? Semoga bisa jadi nasihat untuk yang belum menikah dalam merencanakan pernikahan nantinya. Maaf loh kalo bikin mupeng. Saya sering diprotes sama temen akhir-akhir ini kalo nulis atau nge-status update, katanya bikin sirik, bikin iri, bikin mupeng. Ya maap. Saya nulis apa yang saya rasain aja. Kalo bikin sirik, mupeng, iri, dan perasaan-perasaan lain yang gak jauh dari kata-kata yang tadi, yaaaa maap. Siapa tau jadi motivasi kan? Seperti yang udah saya bilang tadi, semoga justru jadi pencerahan buat yang belum married untuk menyiapkan mental. Anggap aja saya ngasi gambaran dari salah satu contoh kehidupan pernikahan, versi saya gitu. Oke, saya gak akan berlama-lama memberi klarifikasi. *Penting amat
Langsung aja yaaa.
Ada satu hal yang sangat menarik di buku yang saya baca tadi, bahwa pernikahan itu adalah perjanjian antara kita (pengantin) dengan Allah. WOW. Segitunya yaa? Iya, segitunya loh. Jadi, dalam Al-qur’an itu ada frasa bunyinya Miitsaaqan ghaliizhaa yang artinya ’perjanjian besar’. WOW (lagi ah). Frasa itu dituliskan 3 kali dalam al quran. Selain pernikahan, miitsaaqan ghaliizhaa lainnya adalah, perjanjian antara Allah dengan Bani Israil sampai-sampai Ia mengangkat gunung Thursina ke atas mereka, dan juga perjanjian agung antara Allah dan Rasul-rasulNya. WOW (untuk ketigakalinya). Keren banget gak seh seh seh? Kenapa sih sampai bisa segitunya? Iyalah. Banyak hal yang terjadi dalam pernikahan. Ini yang menurut pengalaman pribadi aja yaaa.
Menikah ituuuu:
Punya sahabat pria
Pernikahan yang saya rasain sekarang adalah ketika saya punya teman hidup yang statusnya lawan jenis. Saya punya banyak sahabat perempuan, emm.. sahabat lelaki saya ya cuma satu ini, suami saya. Bentar, saya juga punya sih sahabat cowo, contohnya si Jaja dan masih banyak lagi lainnya, tapi sahabat pria yang tingkat kedekatannya sepadan sama sahabat wanita saya, ya suami saya. Malah lebih dari itu. Ya, pernikahan bikin saya bener-bener punya sahabat pria. Seseorang yang selalu sabar dan setia menemani saya lagi bete atau senang.
Punya dua blok keluarga (dikata komplek, pake blok..)
Setelah saya dikasih seorang sahabat pria, pernikahan juga memberikan saya sebuah keluarga baru. Keluarga yang harus saya perlakukan sama dengan keluarga yang sudah menemani saya sejak 21 tahun yang lalu. Keluarga yang harus saya bagi cinta dan sayang sama seperti keluarga saya sebelumnya. Udah banyak yang bilang kalo menikah itu bukan kita menikah dengan si Fulan saja, menikah itu berarti kita menikah dengan Fulan dan keluarganya. Menerima si Fulan dengan segala kekurangan dan kelebihannya sih rada gampang yaa, pake cinta gitu, tai ayam juga rasa coklat, tapi kalo menerima apa yang ada pada keluarga si Fulan? Tentu tidak semudah menerima si Fulannya. Ada banyak tradisi dan sudut pandang keluarga pasangan kita yang berbeda dengan apa yang kita punya. Pernikahan membuat saya punya dua pasang orang tua dan keluarga besar yang mengirinya dan harus sama-sama saya sayangi dan hormati.
Punya kebiasaan baru
Okei, mungkin untuk yang satu ini belum begitu saya rasain banget, secara saya beda kota. Gak terlalu banyak yang berubah. Ada pasti yang berubah. Contohnya, kalo dulu tiap malam Sabtu saya cuma sumringah karena besok adalah weekend dan saatnya liburan, kalo sekarang, malam Sabtu adalah saat-saat saya dengan semangatnya menahan ngantuk untuk menunggu suami pulang nengokin saya di kosan. Saya yang dulunya boros dan gak pernah mikir kalo ngabisin uang, sekarang saya harus lebih cermat kalo memanage uang. Dulu, kalo saya bangun tidur, saya cuma mikirin hari ini mau ngapain aja, tapi sekarang, saya juga pengen tau apa yang mau dilakukan suami saya di ujung sana. Dulu, kalo makan siang saya asik kenyang sendiri, sekarang tiap kali makan siang saya suka kepikiran yang di sana inget makan siang apa enggak ya, makan siangnya sehat apa enggak ya. Dulu, kalo mau vacation atau ada acara kampus, saya langsung iya-iya aja dan langsung capcus, sekarang, saya harus minta izin sama suami, dan ngatur jadwal bareng biar bisa tetep ketemu minimal 2 kali sebulan. Dulu, kalo saya pengen kentut dan ada dia, saya tahan sebisa mungkin, sekarang? Ya elaaaa.. Bisa mati menahan kentut yang ada kalo ditahan. (Akhir hidup dengan sketsa muka yang jelek banget tuh pasti) Haha. Banyak sih sebenernya kebiasaan baru saya semenjak menikah. Semua butuh kesabaran dan keikhlasan. Merubah kebiasaan gak semudah membalikkan telapan tangan bukan?
Punya tanggung jawab lebih
Ini sih poin penting di mana pernikahan menjadi perjanjian yang besar di mata Allah. Ketika kita menikah, Allah menghalalkan yang awalnya haram. Sesuatu yang gak pernah bisa diubah hanya dengan materi, tapi hanya dengan akad. Ada ijab dan qabul. Ketika suami menggenggam tangan Papa saya saat akad, ada gemuruh yang mendebar dada, dan melunturkan keringat ketegangan dalam dir saya, ada pula haru yang luruh dan tersurat dalam derai air mata. Ketika kata ”sah” terucap, itu artinya ada pergantian pemain antara Papa dan suami dalam hal menjaga saya. Menjaga lahir dan bathin saya. Menafkahi kebutuhan jasmani dan ruhani saya. Sebelum menikah, Papa-lah yang menjadi imam bagi saya. Ketika ada hal yang harus diputuskan dalam hidup saya, Papa-lah yang memutuskan dan memberi kebijakan. Ketika saya bingung harus shalat Idul Adha tanggal 16 atau 17, Papa-lah yang menentukan, saya, mama, dan adik-adik ikut yang mana. Sekarang, semua yang akan terjadi dalam hidup saya, saya percayakan kepada suami saya. Semua keputusan dan kebijakan ada di tangan suami saya. Itulah poin pentingnya. Saya percayakan suami untuk menuntun saya berbahagia di dunia dan akhirat. Saya percayakan pada suami untuk menjadikan saya menjadi hamba yang semakin dicintai Allah. Saya dan suami saat ini ada dalam tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya. Ketika hati tak hanya ada satu. Ketika pikiran tak hanya ada satu. Ketika senang harus dibagi bersama. Ketika susah harus dinikmati berdua. Menikah adalah tanggung jawab di mana kita melestarikan komitmen di atas segala perbedaan dan persamaan yang ada. Menikah adalah kebutuhan semua manusia. Maka dari itu, ada tanggung jawab yang Allah sisipkan di dalamnya. Agar ada geliat sehingga kita terus bergerak. Karena jika kita tidak menikah, kita hanya diam dalam satu titik, titik yang hanya ada satu individu saja, dan diam adalah mematikan.
Hmmmm… Panjang sekali saya menguraikan poin keempat. Yaaa kurag lebih seperti itulah menikah. Gampang gampang susah. Seru seru lelah. Tapi satu yang pasti, insya Allah semuanya bernilah ibadah 🙂
Itu aja kali yaaaaa.. Intinya mah, pernikahan itu saking penting dan sakralnya, harus kita siapkan sebaik mungkin. Mulai dari membangun niatnya, memilih pasangan, menyiapkannya sesuai syariah, hingga mengambil tanggung jawabnya. Semuanya harus siap lahir bathin. Udah yah yah yah. Semoga bermanfaat. Bukan cuma bikin sirik dan mupeng, tapi juga jadi penyemangat untuk terus memperbaiki diri hingga Allah percayakan tanggung jawab yang indah itu untuk kita. Cemangadh eaaaaa… ;p
One response to “Menikah: Perjanjian Besar dengan Tuhan :)”
[…] itu adalah suatu perjanjian suci yang besaaaar sekali tanggung jawabnya. Perjanjian besar di hadapan Tuhan. Dulu sih sebelum nikah […]